Sabtu, 08 Desember 2012

Ganti Nama Biar Jadi Anak Shaleh?

Aku terlahir dengan nama Endang Karlan,saat umur 5 tahun aku diboyong pindah ke Kota Ciamis,tidak di kampung lagi,pertimbangan orang tuaku mungkin biar ibuku bisa sambil usaha kecil-kecilan di kota.

Dengan menyewa sebuah kamar,karena kemampuan orang tua ku cuma itu,aku tetap saja menjalani masa-masa keceriaan sebagai seorang anak yang masih polos.Kamar yang disewa berada di lingkungan yang padat penduduk sehingga disana lah aku banyak mendapatkan teman bermain.Rutinitas ku selain main sepuasnya tiap petang berangkat ke mesjid untuk mengaji.

Seingat aku,tidak ada yang aneh dengan kebiasaan aku sebagai anak kecil,tidak pernah melawan orang tua,rajin mengaji dan tidak pernah minta sesuatu yang kira - kira orang tua tidak sanggup memenuhinya.Atau mungkin saja aku tidak ingat kenakalanku pada saat itu sehingga saat ayahku mendaftarkan aku masuk Sekolah Dasar namaku mendadak diganti menjadi Uus,gak ada nama belakangnya,saat itu sih aku tidak pernah bertanya kenapa namaku diganti,namun setelah makin bertambahnya usiaku,aku mulai iri dengan nama - nama temanku yang selalu ada nama belakangnya.

Nama Uus ternyata menurut orang tua ku adalah nama seorang anak tetanggaku,dia orangnya sholeh dan pandai,mungkin kedua orang tuaku pada saat itu sangat ingin punya anak sebaik dia.

Pertanyaannya apakah aku sekarang sebaik apa yang diharapkan kedua orangtua ku?sepertimya masih jauh dari kata baik. Maafkan aku ayah belum bisa memenuhi harapanmu.

Jumat, 16 November 2012

Numpang Sunatan

Sebagai seorang muslim aku tidak bisa menghindar dari kewajiban disunat,umur 5 tahun situasi ekonomi orang tua masih tetap saja pas-pasan.Beruntunglah orang tua ku punya kakak orang berada yang tidak begitu jauh dari rumah,kebetulan juga dia punya anak yang sebaya dengan aku, Dadang namanya.Kecerdasan kedua orang tuaku waktu itu tiba - tiba muncul,saat si Dadang mau disunat dengan hajatan yang terbilang mewah pada saat itu,kedua orang tuaku nebeng buat sunatin aku. " Gak apa - apa nama si Endang gak dicantumin di undangan juga,yang penting bisa ikut disunat" kata ibuku.

Keceriaanku gak tertahankan,gak ada rasa sedih atau malu karena aku disunat nebeng sama hajatan sunat saudara ku.Mungkin namanya juga anak kecil,tak ada beban fikiran apapun.Selepas subuh aku sudah dibangunkan sang ayah buat siap - siap disunat. Dengan digendong ayahku menyusuri sawah karena jarak dari rumahku ke rumah si Dadang lumayan jauh,aku berangkat.Prosesi sunatan mungkin hanya 10 menit,kalau si Dadang habis disunat langsung di gendong ke rumahnya untuk menerima amplop dari para undangan,aku di gendong lagi sama ayahku pulang ke rumah di tengah sawah.Sedikitpun tak ada rasa ingin bertanya kenapa aku tidak seperti si Dadang banyak yang kasih uang,yang ada aku bangga bisa disunat.


Kamis, 15 November 2012

Keceriaan Dalam Kekurangan

Ingin sekali kembali ke masa kecil,ucapan ini sering terdengar dari setiap orang dewasa yang sedang menjalani hidup dalam kekalutan atau kesedihan karena berbagai masalah yang sedang menerpa.Kalimat itupun sering terlontar dari mulutku walaupun masa kecilku tidak begelimang kekayaan namun kecriaan selalu menghiasi hari - hari ku.

Terlahir di sebuah kampung,dari seorang ayah yang bekerja sebagai seorang sopir angkutan umum waktu itu,tentu saja tidak bisa mengharapkan setiap keinginan bisa dipenuhi.Setiap sang ayah pulang dengan membawa kue yang diatasnya ada gula yang berwarna warni,rasanya bahagia sekali,walaupun sang ayah tidak pulang setiap hari karena menunggu punya uang dulu dari hasil narik penumpang baru bisa pulang.

Seorang ibu yang tangguh buat aku selalu menemaniku dari hari ke hari tanpa lelah,entah apa pekerjaan ibu ku dulu,mungkin hanya bantu - bantu di sawah milik sanak saudara yang se kampung,karena diantara sekian banyak keluarga yang sekampung,keluargaku lah yang secara ekonomi pas - pasan.

Ada saat - saat dimana aku dan ibuku merasa nelangsa,ketika ayahku sudah beberapa hari belum pulang,persediaan makanan sudah habis,ketika itu musim hujan kita hanya bisa memandang hujan di balik jendela tanpa kaca dari rumah yang berbilik bambu.Saat itu aku belum bisa menebak bagaimana perasaan seorang istri yang menjalani hidup dalam serba kekurangan,tapi setelah aku sekarang menjadi seorang ayah aku bisa rasakan pasti waktu itu ibuku sedih sekali.

Kesedihan datang tidak tiap hari,justru keceriaan yang sering aku rasakan,tak ada beban hidup yang dirasakan terlalu berat.Seperti anak-anak pada umumnya masa kecilku banyak dihabiskan untuk bermain.


Pendahuluan

Kalau anda sangka saat saya menulis buku ini karir saya lagi di puncak,anda salah.Kalau anda sangka saya menulis buku ini saat bisnis saya sedang maju pesat,anda keliru.Saat buku ini di tulis,saya benar - benar sedang dalam keadaan terpuruk,tidak punya pekerjaan,bisnis macet,hutang menumpuk,untuk menafkahi anak istri saja mengandalkan dari pemberian orang tua yang kondisi usahanya pun hanya sedikit lebih baik dari saya.Jadi kalau anda berharap di buku ini menemukan happy ending saya tidak menjamin anda menemukannya,karena saya pun sebagai penulisnya belum tahu ujung cerita hidup saya.

Keinginan untuk menulis buku sebenarnya ada sejak beberapa tahun ke belakang,yang ada dalam fikiran saya tadinya saya mau menulis buku setelah merasa menemukan kesuksesan dalam hidup,ternyata setelah menginjak umur 37 tahun pun kesuksesan itu belum saya temukan,tapi apakah ada larangan seseorang yang belum sukses untuk menulis buku?

Ada 3 ( tiga ) alasan utama yang mendasari kenapa saya menulis buku ini :
  • Karena saat ini hanya menulislah yang saya bisa.
  • Saya berharap dengan menulis buku ini menjadi jalan keluar untuk memulai bangkit lagi dari keterpurukan,itupun kalau orang lain menilai buku ini layak untuk dibaca.
  • Karena ingin punya sesuatu yang bisa dibanggakan di mata orang tua,anak dan istri tercinta.
Semoga buku ini bukan hanya berisi curhat dari seseorang yang sedang terpuruk,tapi ada hikmah yang dapat diambil agar setiap kesalahan yang pernah saya lakukan tidak dilakukan lagi oleh anak cucu saya.